Makanan atau
tha'am dalam bahasa
Al-Quran adalah segala
sesuatu yang
dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun
termasuk
dalam pengertian tha'am. Al-Quran surat
Al-Baqarah
ayat
249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan)
untuk
objek berkaitan dengan air minum.
Kata
tha'am dalam berbagai bentuknya terulang
dalam Al-Quran
sebanyak 48
kali yang antara lain berbicara tentang berbagai
aspek
berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang
menggunakan
kosa kata selainnya.
Perhatian Al-Quran
terhadap makanan sedemikian
besar,
sampai-sampai
menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i,
"Telah menjadi
kebiasaan Allah dalam
Al-Quran bahwa Dia
menyebut
diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal
tersebut melalui
uraian tentang ciptaan-Nya,
kemudian
memerintahkan
untuk makan (atau menyebut makanan)."
Lebih
jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan
pangan
serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab
utama
kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu
antara lain
kandungan
firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,
Hendaklah mereka menyembah Allah, yang
memberi mereka
makan sehingga terhindar dari lapar dan
memberi
keamanan dari segala macam ketakutan.
PERINTAH
MAKAN
Menarik untuk
disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kata
akala
dalam berbagai bentuk untuk
menunjuk pada aktivitas
"makan". Tetapi
kata tersebut tidak digunakannya semata-mata
dalam
arti "memasukkan sesuatu ke
tenggorokan", tetapi ia
berarti juga
segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya
surat
Al-Nisa 14): 4:
Dan serahkanlah mas kawin kepada
wanita-wanita (yang
kamu kawini), sebagai pemberian dengan
penuh ketulusan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu
sebagian dari
mas kawin itu dengan senang hati maka
makanlah
(ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai
makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.
Diketahui
oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus
bahkan
tidak lazim
berupa makanan, namun
demikian ayat ini
menggunakan
kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut.
Firman
Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)
Dan janganlah makan yang tidak disebut nama
Allah
atasnya (ketika menyembelihnya)
Penggalan ayat
ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud
--mantan
Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan
untuk
melakukan aktivitas
apa pun yang tidak disertai nama
Allah.
Ini
disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti
luas
yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut
untuk
arti aktivitas, seakan-akan menyatakan
bahwa aktivitas
membutuhkan
kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
Boleh jadi
menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat
yang
didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,
baik yang
ditujukan kepada seluruh manusia:
Ya ayyuhan nas,
kepada
Rasul: Ya ayyuhar Rasul,
maupun kepada orang-orang
mukmin: ya
ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan
kata
halal atau dan thayyibah (baik).
Ini menunjukkan bahwa
makanan yang
terbaik adalah yang
memenuhi kedua sifat
tersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat
yang
memerintahkan orang-orang
Mukmin untuk makan,
lima di
antaranya dirangkaikan
dengan kedua kata
tersebut. Dua
dirangkaikan dengan
pesan mengingat Allah
dan membagikan
makanan
kepada orang melarat dan butuh, sekali
dalam konteks
memakan sembelihan
yang disebut nama
Allah ketika
menyembelihnya,
dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat
Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika
berbuka
puasa
maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat
pesan-pesan-Nya.
APA
YANG HALAL DIMAKAN?
Al-Quran
menyatakan,
Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang
ada di bumi
seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).
Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan
untuk kamu
segala yang ada di langit dan di bumi semua
bersumber
dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Bertitik
tolak dari kedua ayat tersebut
dan beberapa ayat
lain, para
ulama berkesimpulan bahwa pada
prinsipnya segala
sesuatu yang
ada di alam
raya ini adalah
halal untuk
digunakan, sehingga
makanan yang terdapat
didalamnya juga
adalah
halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka yang
mengharamkan
rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku
tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu
jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal." Katakanlah,
"Apakah Allah memberi izin kepada kamu
(untuk melakukan
itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap
Allah?" (QS
Yunus [10]: 59).
Pengecualian atau
pengharaman harus bersumber
dari Allah
--baik
melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu
lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena
ada makanan
yang
dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas
dasar ini,
turun perintah-Nya antara
lain dalam surat
Al-Baqarah
(2): 168,
Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal
lagi baik
dari apa saja yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya
setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Rincian
pengecualian itu tidak jarang
diperselisihkan oleh
para ulama,
baik disebabkan oleh
perbedaan penafsiran
ayatayat,
maupun penilaian kesahihan dan
makna hadis-hadis
Nabi
Saw.
Makanan yang
diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga
kategori
pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.
1. Tidak
ditemukan satu ayat
pun yang secara
eksplisit
melarang makanan
nabati tertentu. Surat
'Abasa yang
memerintahkan manusia
untuk memperhatikan makanannya
menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah
disiapkan
Allah
untuk kepentingan manusia dan binatang.
Maka hendaklah manusia memperhatikan
makanannya.
Sesungguhnya Kami benar-benar telah
mencurahkan air
(dari langit), kemudian Kami belah bumi
dengan
sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi
itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan
pohon kunna,
kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan
serta
rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan
untuk
binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]: 24-32).
Kalaupun ada
tumbuh-tumbuhan tertentu, yang
kemudian
terlarang, maka
hal tersebut termasuk
dalam larangan umum
memakan
sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.
2.
Adapun makanan jenis hewani, maka Al-Quran membaginya dalam
dua
kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar
dihalalkan Allah,
Al-Quran
surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:
Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk
kamu agar
kamu dapat memakan darinya daging yang
segar (ikan dan
sebangsanya).
Bahkan
hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai)
tetap
dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:
Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan
makanan
yang berasal dari laut, sebagai makanan
yang lezat bagi
kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.
"Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang
diperoleh dengan
jalan
usaha seperti mengail, memukat, dan
sebagainya, baik
dari laut,
sungai, danau, kolam, dan
1ain-1ain. Sedang kata
"makanan
yang berasal dari laut" adalah
ikan dan semacamnya
yang diperoleh
dengan mudah karena
telah mati sehingga
mengapung.
Makna ini dipahami dan sejalan dengan
penjelasan
Rasul Saw.
yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim,
At-Tirmidzi,
An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah
yang menyatakan tentang laut:
Laut adalah suci airnya dan halal
bangkainya
Ini menurut
banyak ulama sejalan
juga dengan firman Allah
dalam
surat Al-Ma-idah (5): 96.
Memang,
ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat
dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para
ulama, apalagi ia bukan datang
dari Al-Quran, tetapi
riwayat
yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Adapun hewan
yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara
eksplisit al-an'am (unta,
sapi, dan kambing),
dan
mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti
bahwa
selainnya
semua halal atau haram.
Seperti
yang diisyaratkan di atas, tentang
pengecualian dari
makanan yang
dihalalkan, dalam soal ini
ditemukan perbedaan
pendapat
ulama tentang hewan-hewan darat
yang dikecualikan
itu.
Imam Malik
misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena
berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi
orang-orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi
karena
sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau
binatang yang
disembelih atas nama selain Allah...
Ayat
ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam batas-batas
yang disebut itu,
apalagi masih ada
ayat-ayat
lain yang turun sesudah ayat ini yang
juga memberi
pembatasan
serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
Imam
Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi
yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat
tersebut. Karena
walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr
(pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai
pengecualian hakiki.
Di
sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di
atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun
ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi
rijs
(kekotoran) baik
lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan
oleh
babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa
segala macam
binatang
yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di
sinilah antara lain fungsi Rasul
Saw. sebagai penjelas
kitab suci
Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad
Saw. antara 1ain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang
baik-baik, dan
mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah,
atas dasar inilah dipertemukan
hadis-hadis Nabi yang
mengharamkan makanan-makanan tertentu
dengan ayat-ayat yang
menggunakan
redaksi pembatasan di atas.
Misalnya hadis yang
mengharamkan
semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki
cakar (buas), binatang yang hidup
di darat dan di
air,
dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada
ayat yang lalu,
mengharamkan:
Memakan
sembelihan yang disembelih selain atas
nama Allah,
atau
dalam bahasa ayat lain:
Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak
disebut nama
Allah atasnya, karena yang demikian itu
adalah
kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).
Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar --yang dapat
ditemukan dalam buku-buku fiqih-- tentang syarat-syarat
"penyembelihan" yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan
binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan
dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c)
anggota tubuh binatang yang harus disembelih, (d) alat
penyembelihan.
Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang butir a dan b di
atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu
Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih
haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl
Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang
siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat
Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl
Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut
agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya atau
tidak? Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini
penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar
tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap
halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu
syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih
binatang atas nama selain Allah.
Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan
perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya
menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan
Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman
kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan
(binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan
kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu...
(QS Al-An'am [6): 118-119).
Apakah ayat ini berbicara tentang keharusan menyebut nama
Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat
yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad berpendapat demikian.
Pendapatnya ini didukung oleh adanya ayat yang melarang
memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah serta
menilainya sebagai kefasikan:
Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]:
121).
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan
pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran
sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama
Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
Ma~hab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut
nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
1 . Ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab,
sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam
penyembelihan, namun demikian dihalalkan untuk kita, ini
menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat
yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban. Atau,
dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya
penyembelihan.
2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui
istri Nabi Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang daging yang mereka tidak ketahui apakah
dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah.
Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja
melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri
Nabi Saw., Aisyah).
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun
secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas
mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah
ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah,
tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana
pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa
menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama
selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab,
bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal
sembelihan penganut agama Budha, namun itu bukan serta merta
menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal.
Karena masih ada syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang
masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa
cara yang tidak direstuinya, seperti:
Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera
disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang
disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
Perlu dicatat bahwa penyembelihan yang dilakukan sementara
orang ketika membangun bangunan kemudian menanam kepala
binatang yang disembelih itu dengan tuduan menghindari
"gangguan makhluk halus" merupakan salah satu bentuk dari
penyembelihan atas nama berhala.
3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan,
bahwa minuman merupakan salah satu jenis makanan, maka atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup
pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula.
Al-Quran menegaskan bahwa:
Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman
yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi
orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67).
Ayat ini merupakan ayat pertama yang turun tentang makanan
olahan yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya.
Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan"
dan jenis makanan olahan yang baik sehingga merupakan rezeki
yang baik.
Pengharaman segala yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara
bertahap; bermula di Makkah dari isyarat yang diberikannya
pada ayat di atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya
sisi baik dan buruk pada perjudian dan khamr yang turun di
Madinah (QS Al-Baqarah [2]: 219): Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa
yang besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan
manfaatnya. Disusul dengan larangan tegas mendekati shalat
bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu
ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan pernyataan
tegas bahwa:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji)
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS
Al-Ma-idah [5]: 90).
Khamr terambil dari kata khamara yang menurut pengertian
kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan dan minuman
yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal dinamai juga
khamr.
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan anggur
yang mendidih atau yang dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri,
Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, semuanya berpendapat bahwa
sesuatu yang memabukkan bila diminum banyak, selama tidak
terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau tidak
memabukkan maka dia dapat ditoleransi.
Pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat
bahwa apa pun yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan
seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya walau bukan
terbuat dari anggur, maka dia adalah haram. Pendapat ini
antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan:
Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang
memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar).
Di sisi lain Imam At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Abu Daud
meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir bin Abdillah bahwa
Nabi Saw. bersabda:
Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun
tetap haram.
Dari pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang
dikemukakan di atas, maka segala macam makanan dan minuman
terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.
PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN
Seperti dikemukakan di atas, ketika berbicara tentang
"perintah makan", Allah Swt. memerintahkan agar manusia
memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau
"tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal"
juga berarti "boleh". Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup
segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu
bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran
untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja).
Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi
tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh.
Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila
ia baru saja memakan bawang. Nabi bersabda sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib:
Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali
setelah dimasak.
Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang
bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab:
Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya.
Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat,
menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika
menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan
bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau
rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga yang
mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi
yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah
makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum
itu adalah halal.
a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi
yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Quran disebutkan sekian
banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan,
misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]: 27), pangan hewani
(QS Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan
(QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak
(QS Al-Mu'minun [23]: 21), madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan
lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini, menuntut
kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
b. Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan,
tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Quran
menuntut orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya
dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang
ideal.
Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun
sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan
penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233).
Dalam konteks ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna
firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87).
"Mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti mengurangi
kebutuhan, sedang "melampaui batas" berarti meebihkan dari
yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang
makan menekankan perlunya "sikap proporsional" itu. Makna
terakhir ini sejalan dengan ayat yang lain yang petunjuknya
lebih jelas, yaitu:
Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
Rasul menjelaskan bahwa:
Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang
Anda tidak ingini.
Dalam hadis lain Rasul Saw. mengingatkan:
Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari
perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan
perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan
(HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui
sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
c. Aman. Tuntunan perlunya makanan yang aman, antara lain
dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 88 yang
menyatakan,
Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada
kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya
terhadap-Nya.
Dirangkaikannya perintah makan di sini dengan perintah
bertakwa, menuntun dan menuntut agar manusia selalu
memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha
menghindar dari segala yang mengakibatkan siksa dan
terganggunya rasa aman.
Takwa dari segi bahasa berarti "keterhindaran", yakni
keterhindaran dari siksa Tuhan, baik di dunia maupun di
akhirat. Siksa Tuhan di dunia adalah akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini, sedang
siksa-Nya di akhirat adalah akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum syariat. Hukum Tuhan di dunia yang berkaitan
dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor
atau berkuman, maka dia akan menderita sakit. Penyakit
--akibat pelanggaran ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika
demikian, maka perintah bertakwa pada sisi duniawinya dan
dalam konteks makanan, menuntut agar setiap makanan yang
dicerna tidak mengakibatkan penyakit atau dengan kata lain
memberi keamanan bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus
memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
Penggalan surat Al-Nisa' (4): 4 mengingatkan:
Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya (QS
Al-Nisa' [4]: 4)
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks petunjuk tentang
makanan, tetapi penggunaan kata akala yang pada prinsipnya
berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu
hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan pesan Allah tentang
makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am (6):
142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti
langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh
kamu yang sangat nyata.
PENGARUH MAKANAN
Tidak dapat disangkal bahwa makanan mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmani
manusia. Persoalan yang akan diketengahkan di sini adalah
pengaruhnya terhadap jiwa manusia.
Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232 M) berpendapat bahwa
jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan
sifat-sifat mental pemakannya. Ulama ini menyimpulkan
pendapatnya tersebut dengan menganalisis kata rijs yang
disebutkan Al-puran sebagai alasan untuk mengharamkan makanan
tertentu, seperti keharaman minuman keras (QS Al-Ma-idah [5]:
90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al-An'am [6]: 145).
Kata rijs menurutnya mengandung arti "keburukan budi pekerti
serta kebobrokan moral". Sehingga, apabila Allah menyebut
jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, maka ini
berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan
budi pekerti.
Memang kata ini juga digunakan Al-Quran untuk
perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental,
seperti judi dan penyembahan berhala (QS Al-Maidah [5]: 90).
Dengan demikian, pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan
ditinjau dari segi bahasa dan penggunaan Al-Quran.
Sejalan dengan pendapat di atas adalah pendapat yang
dikemukakan oleh seorang ulama kontemporer, Syaikh Taqi
Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity and Education.
Dalam buku ini, dia menguatkan pendapatnya dengan mengutip
Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran. Carrel
menulis dalam bukunya Man the Unknown lebih kurang sebagai
berikut:
Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung
oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran
manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum
lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak
dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
kualitas dan kuantitas makanan.
Nah jika demikian, terlihat bahwa makanan memiliki pengaruh
yang besar bukan saja terhadap jasmani manusia tetapi juga
jiwa dan perasaannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
minuman keras merupakan langkah awal yang mengakibatkan
langkah-langkah berikut dari para penjahat. Hal ini,
disebabkan antara lain oleh pengaruh minuman tersebut dalam
jiwa dan pikirannya.
Dalam konteks agama, tidak dapat diragukan adanya pengaruh
makanan terhadap selain jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan
antara terkabulnya doa dengan makanan halal. Beliau bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia
tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia
memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan
para Rasul dengan firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah
rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu".
(Kata perawi) Rasul kemudian menjelaskan seorang
pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua
tangannya ke langit berdoa, "Wahai Tuhan, Wahai Tuhan
... (tetapi) makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka
bagaimana mungkin ia dikabulkan?"
Demikian, sebagian dari dampak makanan terhadap manusia.
MENGAPA BINATANG ATAU MAKANAN TERTENTU DIHARAMKAN?
Banyak analisis yang dikemukakan para pakar tentang
sebab-sebab diharamkannya binatang atau makanan tertentu.
Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia.
Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak
dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.
Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari
kematian sekian banyak pasien di Belanda dan Denmark. Pada
1918, flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita
dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali muncul pada
1977, dan di Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi
yang menelan biaya 135 juta dolar. Demikian sekelumit dari
bahaya babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam
bukunya Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
Lemak babi mengandung complicated fats antara lain
triglycerides, dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat
tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak dari
daging sapi. Dalam Encydopedia Americana dijelaskan
perbandingan antara kadar lemak yang terdapat pada babi,
domba, dan kerbau. Dalam kadar berat yang sama, babi
mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak lebih dari
5%. Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya
Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
Banyak lagi analisis dan jawaban yang diberikan menyangkut
sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan di sini
tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki otoritas untuk
menjelaskannya.
Memang kita boleh saja bertanya, dan atau mencari jawaban
tentang mengapa Allah Swt. mengharamkan makanan tertentu.
Boleh jadi kita puas atau tidak puas dengan jawaban yang
diberikan, tetapi adalah amat bijaksana jika jawaban yang
ditemukan itu --walau sangat memuaskan-- tidak dijadikan
sebagai satu-satunya jawaban.
Imam Al-Ghazali memberikan ilustrasi menyangkut 'illat
(katakanlah "sebab" atau "hikmah") dari larangan-larangan
Ilahi. "Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di
satu rumah. Sebelum kematian menjemputnya, sang ayah
mewasiatkan kepada anaknya: 'Jika engkau ingin memugar rumah
ini silakan, tetapi tumbuhan yang terdapat di serambi rumah
jangan ditebang.' Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal,
dan anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya
dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir, 'Apakah
gerangan sebabnya ayah melarang menebangnya?' Pikirannya,
kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.
Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan
lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan
menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang
lebih sedap. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian
muncul seekor ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika
itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan itu, merupakan
penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian dari
'illat larangan ayahnya' bukan semuanya, bahkan bukan yang
terpenting darinya." Demikian lebih kurang ilustrasi Imam
Al-Ghazali.
Demikian sedikit dari banyak petunjuk Al-Quran tentang
makanan. Kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran merintahkan
kepada kita untuk makan yang halal dan thayyib, serta yang
lezat tetapi baik akibatnya.[]
0 komentar:
Posting Komentar