Sampah
Elektronik: Didaur Ulang atau Dibuang ke Negara Berkembang?
Usaha untuk mendaurulang
sampah elektronik menghadapi masalah karena dalam prosesnya sulit dan beresiko tinggi terhadap para pekerja,
serta menghasilkan produk-produk sekunder yang beracun. Sebagai contoh, proses
extruding dalam kegiatan daur ulang plastik dari sampah elektronik dan proses
recovery logam menghasilkan PBDE, dioksin, dan furan. Di Swedia contohnya, para
pekerja yang bekerja di fasilitas daur ulang sampah elektronik, setiap harinya
terekspos PBDE yang lepas ke udara sehingga darahnya mengandung PBDE tujuh
puluh kali lipat dibandingkan dengan para medis di rumah sakit.
Pembakaran sampah elektronik di insinerator
juga sangat berbahaya karena menghasilkan dioksin dan logam berat. Senyawa
polyvinylchloride (PVC), biasanya terdapat di kabel dan body barang elektronik,
ketika dibakar akan membentuk polychlorinated dibenzodioxins (dioksin) dan
polychlorinated dibenzofurans (furan), suatu senyawa yang bersifat persisten,
terakumulasi secara biologis, dan bersifat karsinogen.
Selain itu, dioksin juga mengganggu sistim
hormon, mempengaruhi pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan
sistim kekebalan tubuh. Diketahui pula bahwa slag, fly ash, flue gas dan filter
cake yang dihasilkan dari pembakaran sampah elektronik mengandung logam berat
yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika insinerator sampah,
seperti yang berada di Kanada dan AS, menjadi sumber utama pencemaran dioksin
dan logam berat di udara.
Mengingat resiko dan sulitnya mendaurulang
sampah elektronik, beberapa negara maju membuang barang elektronik yang sudah
‘kedaluwarsa’ sebelum jadi sampah, seperti komputer, ke negara sedang berkembang atas nama barang
elektronik second. Bagi negara pengimpor untuk sementara memang diuntungkan
dengan barang elektronik harga murah meriah, tapi dalam jangka panjang harus
menanggung beban pencemaran lingkungan B3 dari komponen-komponen rongsokan
elektronik. Sedangkan negara pengekspor mendapatkan keuntungan lingkungan
terbebas dari B3 dan penghematan anggaran dimana biaya ekpor bisa lebih murah
10 kali lipat daripada mendaurulangnya.
Ekspor produk elektronik atau limbah B3
dari negara maju ke negara-negara sedang berkembang tentu saja sangat
memprihatinkan sehingga pada tahun 1989 masyarakat dunia menyusun Konvensi
Basel tentang Transboundary Movement of Hazardous Waste for Final Disposal
untuk menghentikan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for
Economic Cooperation and Development
(OECD) membuang limbah B3 lintas negara. Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Basel pada tanggal 12 Juli 1993 melalui Keppres No. 61/1993 dalam rangka
mencegah masuknya limbah B3 karena Indonesia juga merupakan salah satu sasaran
pembuangan limbah B3. Saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel
berjumlah 164 negara.
Pertemuan para pihak Konvensi Basel, bulan
Maret 1994, telah melarang semua ekspor limbah B3 untuk pembuangan akhir dari
negara industri ke negara non-OECD. Para pihak juga memutuskan melarang semua
ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan
baku, mulai 31 Desember 1997. Namun demikian, kegiatan ekspor-impor limbah B3
termasuk sampah elektonik terus berlanjut. Berbagai lobi ekspor-impor komputer
second tetap dilakukan oleh AS, misalnya, terhadap beberapa negara seperti Cina
dan Taiwan. Hal itu tentu saja bertentangan dengan Konvensi Basel dan
mengundang reaksi keras para aktivis lingkungan dunia.
SUMBER :http://sriwahyono.blogspot.com/2010/07/sampah-elektronik-didaur-ulang-atau.html
PENCEMARAN LIMBAH ELEKTRONIK
Coba kita hitung, berapa banyak peralatan elektronik yang sudah tidak terpakai lagi tapi masih tersimpan di rumah. Mungkin berupa radio, kipas angin, kalkulator, pemutar DVD, televisi, komputer, pemutar MP3, atau bahkan ponsel-ponsel jadul yang sudah tidak layak pakai. Semua itu tersimpan atau terselip di antara barang-barang lain yang masih kita pakai sehari-hari.
Rumah tangga kita bukan satu-satunya. Di dunia diperkirakan ada sekitar 20 – 50 juga ton sampah elektronik per tahun. Amerika Serikat menjadi penghasil sampah terbanyak yakni 3 juta ton, disusul Cina dengan 2,3 juta ton. Masalahnya, ke mana lainnya limbah itu? Ada kenyataan mengejutkan bahwa 70% sampah itu dibuang ke negara miskin dan negara berkembang, Indonesia menjadi salah satunya.
Membuang sampah elektronik begitu saja ke tempat pembuangan sampah, jelas bukan tindakan bijak. Karena sampah semacam ini mengandung sekitar seribu material yang sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3).. Ada unsur-unsur seperti logam berat (merkuri, timbel, kromium, kadmium, arsenik, dsb), PVC, dan brominated flame-retardants. Apabila di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ditangani secara tidak tepat, akibatnya sungguh merugikan manusia dan lingkungan.
Jika sampah yang mengandung logam berat ini dibakar, akan muncul polusi udara (mengandung timbel) yang sangat berbahaya. Tumpukan sampah yang mengalami dekomposisi dan tercampur dengan air, juga dapat masuk ke tanah dan menyebabkan pencemaran air tanah. Pencemaran yang diakibatkan oleh berbagai unsur ini akan merusak sistem saraf, mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, perkembangan otak anak, cacat bawaan, efek racun, alergi, sampai kerusakan DNA.
Dampak mengerikan itu bisa saja sampai ke kita juga. Seperti polybrominated biphennyls (PBB) dari sampah elektronik, begitu terlepas ke lingkungan akan masuk ke rantai makanan. Makhluk hidup yang ada di tanah atau perairan seperti hewan ternak dan hewan laut akan tercemar. Padahal, ada kemungkinan hewan tersebut akan dimasak, lalu tersaji di piring kita. Walau tersaji lezat, misalnya dengan bumbu saus padang, tetap saja ada unsur pencemarannya.
Mengamankan sampah elektronik di rumah bia dilakukan dengan cara mengumpulkannya di satu tempat. Misalnya di sebuah kardus atau kotak container plastik. Jangan sampai tidak terkontrol atau berserakan agar tidak terbuang begitu saja atua malah menjadi mainan dari anak-anak. Kita tidak bisa menjamin faktor keamanannya jika barang-barang semacam itu sampai di tangan anak-anak.
Solusi sementara, kita bisa menjual barang-barang elektronik kepada pedagang barang bekas, untuk dimanfaatkan kembali. Karenya nyatanya, sampah elektronik masih dapat dimanfaatkan kembali oleh kalangan tertentu. Kini pedagang barang bekas umumnya mencari barang yang spesifik, misalnya bekas komputer, televisi, atau ponsel. Bahkan jika jumlahnya cukup banyak mereka bersedia menjemput. Maka tak ada salahnya kita mengumpulkan secara kolektif dengan warga lain di lingkungan tempat tinggal.
Solusi yang benar adalah melibatkan produsen barang-barang elektronik melalui program extended producer responsibility (EPR). Produsen sebagai penjualnya hendaknya memiliki komitmen untuk mengambil kembali produk mereka yang tidak terpakai untuk meminimalisir pencemaran lingkungan. (Intisari)
0 komentar:
Posting Komentar