Pusat-pusat pengolahan air perkotaan atau municipal water treatment
dengan skala besar mengolah air dengan cara menambahkan senyawa kimia penggumpal
(koagulan) ke dalam air kotor yang akan diolah. Dengan cara tersebut,
partikel-partikel yang berada di dalam air akan menjadi suatu gumpalan yang
lebih besar lalu mengendap, baru kemudian air di bagian atas yang bersih
dipisahkan untuk digunakan keperluan sehari-hari. Namun demikian, zat kimia
penggumpal yang baik tidak mudah dijumpai di berbagai daerah terpencil.
Andaipun ada, pasti harganya tidak terjangkau oleh masyarakat setempat.
Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan
koagulan alami dari tanaman, yang barangkali, dapat diperoleh di sekitar kita.
Penelitian dari The Environmental Engineering Group di Universitas Leicester,
Inggris, telah lama mempelajari potensi penggunaan berbagai koagulan alami
dalam proses pengolahan air skala kecil, menengah, dan besar. Penelitian
tersebut dipusatkan terhadap potensi koagulan dari tepung biji tanaman Moringa
oleifera. Tanaman tersebut banyak tumbuh di India bagian utara, tetapi
sekarang sudah menyebar ke mana-mana ke seluruh kawasan tropis, termasuk
Indonesia. Di Indonesia tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman kelor dengan
daun yang kecil-kecil. Selain itu, alternatif lain adalah dengan pemanfaatan
Chitosan dan Chitin yang terdapat pada limbah udang.
Berikut tanaman-tanaman yang bersifat koagulasi :
Ø Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifera)
Biji kelor merupakan alternatif koagulan organik. Biji kelor sebagai
koagulan dapat digunakan dengan dua cara yaitu biji kering dengan kulitnya dan
biji kering tanpa kulitnya (Ndabigengesere dkk, 1995). Hasil analisis elemen
pada biji kelor untuk biji dengan kulit adalah 6,1% N; 54,8% C; dan 8,5% H,
sedangkan untuk biji tanpa kulit adalah 5,0% N, 53,3% C, dan 7,7% H (dalam %
berat) sedang sisanya terdiri atas oksigen (Ndabigengesere dkk, 1995).
Pohon kelor (Moringa oleifera) diketahui mengandung
polielektrolit kationik dan flokulan alamiah dengan komposisi kimia berbasis
polipeptida yang mempunyai berat molekul mulai dari 6000 sampai 16000 dalton,
mengandung hingga 6 asam-asam amino terutama asam glutamat, mentionin, dan
arginin (Jahn, 1986). Sebagai bioflokulan, biji kelor kering dapat digunakan
untuk mengkoagulasi-flokulasi kekeruhan air (Jahn, 1986; Sani, 1990; Bina, 1991
dalam Muyibi dan Evison, 1995; Narasiah dkk, 2002).
Efektivitas koagulasi oleh biji kelor ditentukan oleh kandungan protein
kationik bertegangan rapat dengan berat molekul sekitar 6,5 kdalton. Zat aktif
(active agent) yang terkandung dalam biji kelor yaitu 4α
L-rhamnosyloxy-benzyl-isothiocyanate (Sutherland dkk, 1990; Muyibi dan Evison,
1995). Prinsip utama mekanisme koagulasinya adalah adsorpsi dan netralisasi
tegangan protein tersebut (Ndabigengesere dkk, 1995). Dalam proses
koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang kecil terhadap derajat
keasaman dan konduktivitas. Jumlah lumpur yang diproduksi biji kelor lebih sedikit
dari jumlah lumpur yang diproduksi oleh ferro sulfat sebagai koagulan (Chandra,
1998).
Bahan koagulan dalam biji kelor adalah protein kationik yang larut dalam
air. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit adalah sekitar +6 mV
(Ndabigengesere dkk, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi
oleh tegangan positif, meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks.
Potensial zeta air sintetik adalah sekitar -46 mV. Hal ini menunjukkan bahwa
pada pH netral, partikel-partikel bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi
partikel tersuspensi dengan biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi
tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik.
Mekanisme yang
paling mungkin terjadi dalam proses koagulasi adalah adsorpsi dan netralisasi
tegangan atau adsorpsi dan ikatan antar partikel yang tidak stabil. Dari kedua
mekanisme tersebut, untuk menentukan mekanisme mana yang terjadi merupakan
suatu hal yang sangat sukar karena kedua mekanisme tersebut mungkin terjadi
secara simultan. Tapi, umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor adalah
adsorpsi dan netralisasi tegangan (Sutherland dkk, 1990).
KEUNTUNGAN
1. Caranya sangat mudah
2. Tidak berbahaya bagi kesehatan
3. Dapat menjernihkan air lumpur
maupun air keruh
4. Kualitas air lebih baik karena:
- Mikroorganisme berkurang
- Zat organik berkurang sehingga pencemaran kembali berkurang
- Air lebih cepat mendidih
KERUGIAN
1. Kelor tidak terdapat di semua
daerah
2. Air hasil penjernihan dengan
kelor harus segera digunakan dan tidak dapat disimpan untuk hari berikutnya
3. Penjernihan dengan cara ini hanya
untuk skala kecil
Ø
Pemanfaatan
Chitin dan Chitosan dari Limbah Udang
Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor yang dengan mudah
didapatkan mengandung senyawa kimia berupa chitin dan chitosan. Senyawa ini
dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang
dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa chitin dan
chitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktivitas kimia
yang tinggi, dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat
berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai
absorben terhadap logam berat dalam air limbah. Kulit udang yang mengandung
senyawa kimia chitin dan chitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan
tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara
optimal.
Chitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan
ko-polimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau.
Kitosan merupakan produk diasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan
enzim kitin diacetilase (Rismana, 2001).
Chitosan (CS), derivat deasetilasi dari chitin terdiri atas satuan-satuan
glukosamine yang terpolimerisasi oleh rantai ß-1,4-glikosidic (Simunek et al,
2006).
Chitosan (poli-ß-1,4-glucosamine) disiapkan secara komersial dengan
deasetilase basa chitin yang didapat dari eksoskeleton crustacea laut, chitosan
mempunyai nilai pKa kira-kira 6,3 pada nilai pH lebih rendah, molekulnya bersifat
kation karena protonasi dari grup amino. Dengan adanya sifat-sifat chitin dan
chitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka
menyebabkan chitin dan chitosan mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi dan
menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar
ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat
dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan
sebagai absorben, maka chitin dan chitosan dari limbah udang berpotensi dalam
memecahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih
murah dan bahannya mudah didapatkan.
Chitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi
dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain
β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986;
Tokura, 1995). Struktur chitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi
antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4).
Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom
karbon yang kedua pada chitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga
chitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetilglukosamin (The Merck Indek,
1976). Chitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976), merupakan zat
padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik
encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi
larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Chitin kurang larut dibandingkan
dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit,
sedangkan chitosan adalah chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Chitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa
merupakan turunan dari chitin melalui proses deasetilasi. Chitosan juga
merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi
yaitu asam amino, gugus hidroksil primer, dan skunder. Adanya gugus fungsi ini
menyebabkan chitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat,
sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4.
Chitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi, dan bersifat polielektrolitik
(Hirano, 1986). Di samping itu, chitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan
zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, chitosan relatif
lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri
kesehatan (Muzzarelli, 1986).
Chitin dan chitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan
sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara
dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke
lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat.
0 komentar:
Posting Komentar